Minggu, 30 Oktober 2011

PENGERTIAN POLISI

Saya kira tidak seorangpun di Indonesia ini yang belum pernah mendengar perkataan POLISI. Di manapun orang berada, baik di kota maupun di pelosok-pelosok desa, tentu ia pernah berjumpa dengan polisi. Dalam masa tenang lebih-lebih dalam keadaan bahaya dan keributan, masyarakat ingat dan merasakan perlunya ada polisi, akan tetapi banyak dari masyarakat kita yang mengenal polisi itu hanya dari jauh, dan gambaran tentang polisi yang diperoleh amat tergantung dari pengetahuannya masing-masing yang tidak selalu menyenangkan baginya, malahan tidak sedikit orang yang menganggap polisi itu sebagai hantu yang harus di jauhi.

Pendapat demikian itu memang menunjukkan pengertian yang bukan semestinya, sebab untuk memahami sifat polisi yang sebenarnya diperlukan pengertian dan pengenalan akan tugas dan kewajiban polisi yang lebih jauh.

Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan polisi itu ? Berdasarkan pengertian yang bersifat falsafati maka obyek ilmu kepolisian menurut pembahasan para ahli adalah "kontrol" yang berarti "pengawasan dan pengendalian" dan hal ini merupakan ihwal yang universal dan juga merupakan sesuatu yang kodrati.

Apabila kita melihat dalam diri kita sendiri sebagai manusia, maka nampaklah dalam batin kita ada sesuatu fungsi rokhaniah yang dalam hidup kita sehari-hari bertugas mengawasi dan mengendalikan pribadi kita untuk hidup pada jalan yang lurus mencapai ketertiban dan ketenangan batin demi hidup sejahtera dan bahagia di dunia ini. Fungsi rokhaniah tersebut kita kenal sebagai Hatinurani.

Hatinurani inilah dalam manusia, dan kontrol atau kendali dalam masyarakat, yang merupakan sesuatu yang mutlak untuk mencapai keadaan yang tertib, aman, sejahtera dan bahagia dalam penghidupan.

"Kontrol" inilah "Polisi".

Mudah kiranya dimengerti , bahwa agar supaya orang dapat hidup bersama-sama dalam suasana yang tertib dan aman, perlu diadakan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh semua orang, dan dibutuhkan pula adanya suatu kelompok dari orang-orang itu yang diwajibkan memelihara peraturan-peraturan itu, menjaga agar supaya peraturan-peraturan benar-benar dipatuhi. Sebagai contoh dapat diketengahkan suatu rumah tangga yang besar, dimana harus ada seorang, biasanya Bapak atau Ibu, yang memimpin dan mengasuh anak-anaknya, mengatur dan membina kelakuan dan kesopanannya.

Apabila ada seorang anak yang membandel melanggar tata tertib rumah atau tidak patuh pada perintah orang tua, tentulah anak itu ditegur dan dinasehati, dan apabila nasehat ini tidak pula diturut, maka anak itu akan dihukum.

Apabila di antara anak-anak itu timbul perselisihan dan perkelahian, dimana anak yang lemah dipukul atau direbut barangnya oleh yang kuat, maka orang tua wajib mendamaikan dan melindungi anak yang lemah serta memberi peringatan jangan sampai hal itu diulangi.

Orang tua wajib pula menjaga keselamatan anak-anaknya terhadap gangguan-gangguan dari luar, baik dari binatang, orang atau bahaya-bahaya lain.

Beberapa rumah tangga berkumpul menjadi kelompok kehidupan bersama yang lebih besar dan merupakan masyarakat desa atau kota. Di sinipun keadaannya sama saja, yaitu harus ada peraturan-peraturan bersama yang harus ditaati dan harus ada segolongan mereka yang berkewajiban menjaga agar peraturan-peraturan itu benar-benar dipatuhi.

Dalam suatu masyarakat yang lebih besar lagi seperti suatu negara, harus pula ada suatu penguasa yang disebut pemerintah dari negara itu yang mengatur dan menjaga agar supaya semua warga negaranya dapat hidup bersama dengan aman dan sentausa serta dapat menjalankan pekerjaannya masing-masing untuk kelanjutan hidupnya sehari-hari.

Untuk menegakkan peraturan-peraturan negara, menjaga keamanan dan ketertiban serta melindungi jiwa dan harta benda penduduk, maka pemerintah membentuk suatu badan beserta pegawai-pegawainya yang khusus dibebani dengan pekerjaan itu. Badan inilah yang disebut "POLISI"

Sehubungan dengan itu maka di tiap-tiap negara dapat dipastikan memiliki Polisi-nya masing-masing. Memang Polisi itu sudah ada sejak dahulu kala, yaitu semenjak zaman orang mulai hidup bernegara.

SEJARAH KATA "POLISI"

Kata "polisi" itu berasal dari kata Yunani "Politea". Kata ini pada mulanya dipergunakan untuk menyebut "Orang yang menjadi warga negara dari kota Athene", kemudian pengertian itu berkembang menjadi "kota" dan dipakai untuk menyebut "semua usaha kota". Oleh karena pada zaman itu kota-kota merupakan negara-negara yang berdiri sendiri, yang disebut juga "Polis", maka "politea" atau "polis", diartikan sebagai :"semua usaha dan kegiatan negara, juga termasuk kegiatan keagamaan."

Di dalam perkembangannya, pada abad sesudah tarih Masehi, agama Kristen mendapat kemajuan dan berkembang sangat luas, maka semakin lama urusan dan kegiatan agama menjadi semakin banyak, sehingga merupakan urusan khusus dan perlu diselenggarakan secara khusus pula, akhirnya urusan agama dikeluarkan dari usaha Politea (Polis atau Negara-kota).

Pada abad ke 14 dan 15 di Perancis dipergunakan kata "police" dan di Jerman kata "polizei" dan perkataan-perkataan itu sudah mengeluarkan urusan agama dari usaha "politeia" sehingga "politeia" atau "polis", "la Police" (perancis), "Politeia" (Itali), "Polizei" (Jerman), "police" (Inggris), "Politie" (Belanda, "Polis di �Raja" (Malaysia) dan "Polisi" (Indonesia) hanya meliputi usaha dan urusan duniawian saja.

Dari abad ke abad kita ketahui, bahwa dengan berkembangnya urusan negara, untuk effisiensi kerja diperlukan pembagian tugas dan masing-masing tugas diserahkan kepada badan pemerintahan yang khusus. Dengan demikian maka secara berturut-turut di pisahkan dari pengertian "polisi" sebagai usaha negara, pertama urusan luar negeri (diplomasi), kemudian urusan pertahanan (defensi), disusul oleh urusan pengadilan (yustisi) dan akhirnya urusan keuangan, sehingga "polisi" hanya tinggal meliputi bagian urusan negara yang tidak masuk ke dalam empat bagian tersebut di atas yang dapat disebut dengan bagian "keranjang sampah"

Semenjak waktu itu (abad 16) pembagian usaha negara di Eropa Barat lazim dilakukan menjadi lima "departemen" meliputi :
Departemen Urusan Luar Negeri.
Departemen Urusan Pertahanan
Departemen Urusan Pengadilan
Departemen Urusan Keuangan
Departemen Urusan Polisi.

Departemen Urusan Polisi menyelenggarakan urusan dalam negeri yang meliputi administrasi, pemerintahan, pembentuk dan pelaksana semua peraturan, yang semuanya itu "menuju kepada menjaga ketertiban dan keamanan dalam negeri"

Pada awal abad 18 Departemen Urusan Polisi ini meningkatkan usaha negara dalam memajukan kesejahteraan dan kebahagiaan penduduk , sehingga negara dalam hal ini mencampuri urusan rakyatnya dalam penyelenggaraan kesejahteraannya dengan peraturan dan sarana-sarana yang ada padanya, jika perlu dengan paksaan-paksaan yang akibatnya rakyat tidak bebas lagi dalam geraknya. Dengan turut campurnya pemerintah dalam segala urusan rakyatnya, baik yang bersifat umum maupun pribadi, maka rakyat menderita tindakan-tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, sehingga mereka merasa tidak mempunyai kebebasan sama sekali. Negara dengan departemen polisi semacam itu disebut "Negara Polisi" dan sebagai reaksi dari negara polisi ini muncul "Negara Hukum" mulai pada akhir abad 18 yang membebaskan rakyatnya dari campur tangan negara dengan segala kegiatan mereka.

Negara hanya bertindak dalam urusan-urusan rakyatnya yang bersifat umum saja, dan dalam hal inipun negara dibatasi oleh undang-undang, artinya negara hanya boleh bertindak apabila tindakan itu dengan nyata disebutkan dalam undang-undang. Di luar Undang-undang negara bersikap pasif dan dalam menyelenggarakan kesejahteraan dan kebahagian pribadinya, rakyat bebas untuk bertindak sendiri. Kewajiban negara hanya terbatas pada penjagaan ketertiban dan keamanan umum saja, hanya bertindak apabila ada serangan atau gangguan terhadap hak-hak pribadi rakyatnya, yang secara harafiah ditentukan dalam undang-undang.

Undang-undang dipandang sebagai satu-satunya dasar bagi negara untuk bertindak dan tidak ada hukum lain di luar undang-undang. Pandangan ini timbul oleh karena kejengkelan rakyat terhadap pengalaman-pengalamannya di dalam "Negara Polisi" terdahulu, dimana tindakan-tindakan penguasa, oleh karena tidak ditetapkan dalam undang-undang, dapat dilakukan dengan sewenang-wenang.

Dalam Negara Hukum pertama yang bercorak seperti ini, rakyatnya menuntut agar hukum yang mendasari segala tindakan penguasa harus dengan seksama ditulis dalam undang-undang dan dibukukan dalam kitab undang-undang.

Setelah masyarakat selama kurang lebih satu abad hidup dalam suasana Negara Hukum type pertama ini yang pemerintahnya seakan-akan bersikap pasif, merasa tidak puas dan timbul paham baru, bahwa kewajiban pemerintah untuk memajukan masyarakatnya harus lebih luas daripada hanya sekedar terbatas kepada hal-hal yang dituliskan dalam undang-undang saja.

Pada akhir abad 19, dimana-mana timbul kesadaran masyarakat, bahwa untuk memajukan perkembangan bangsa dalam kebudayaan, kesenian dan ilmu pengetahuannya , meninggikan taraf hidup, kemakmuran dan kesejahteraan, baik jasmaniah maupun rohaniah, negara harus aktif mempelopori dan mendorong rakyat berusaha sekuat-kuatnya . Pada waktu itu timbul pendapat baru, bahwa untuk memajukan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat, penguasa negara tidak terikat hanya pada apa yang ditetapkan dalam undang-undang, akan tetapi demi untuk kepentingan rakyatnya dapat mengambil kebijaksanaan berdasarkan hukum yang hidup dan tidak tertulis. Sesuai pendapat ini timbullah dari Negara Hukum yang lama menjadi Negara Hukum barudan sifat serta tugas Polisi menyesuaikan dengan perkembangan sifat negara itu.

IDENTITAS TUGAS POLISI REPUBLIK INDONESIA

Gambaran tentang Polisi dan tugas-tugasnya pada umumnya di dunia, telah diketahui bersama, selanjutnya gambaran Polisi Republik Indonesia tidak jauh berbeda karena sifatnya yang universal dan sangat elastis menyesuaikan dengan perkembangan sifat negara masing-masing. Polisi Republik Indonesia sesuai dengan bunyi pembukaan Undang-Undang Dasar RI 1945 mempunyai sifat negara yang mengutamakan kemajuan kesejahteraan sosial rakyatnya.

Dari sejarah pertumbuhan masyarakat dapat diketahui, bahwa sesungguhnya tugas polisi itu pada mulanya dilakukan sendiri oleh seluruh masyarakat, dengan diasuh oleh para pemimpinnya. Organ Polisi semula terdiri dari masyarakat sebagai keseluruhan. Hal ini hingga sekarang masih dapat dijumpai pada taraf masyarakat keluarga, dimana ayah dan ibu menyelenggarakan tugas polisi dalam keluarga.

Masyarakat berkembang menjadi semakin kompleks, sehingga untuk effesiensi dan kelancaran pengurusan kehidupan warganya diperlukan pembagian kerja dan pengkhususan. Kejahatan sebagai gejala sosial memperlihatkan peningkatan dan intensitas penggunaan hasil tehnologi dan cara-cara modern. Oleh karena itu maka apa yang telah dikenal sebagai tugas polisi diserahkan kepada badan negara tersendiri yang dinamakan Kepolisian Republik Indonesia.

Untuk menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat, yang ditujukan terutama kepada memperbesar kegairahan dan kesibukan kerja dalam usaha mencapai kesejahteraan rakyat, baik materiil maupun spirituil, dimana seluruh rakyat harus diikut sertakan, maka Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokok pada hakekatnya merupakan salah satu unsur penting dari Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta, yaitu unsur dari Pertahanan Keamanan Nasional oleh dan untuk rakyat, khususnya merupakan inti dari penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Oleh karena tugas penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), sudah ada sejak adanya masyarakat itu sendiri, timbul dan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat, maka wajar kiranya apabila polisi merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan merupakan inti di dalam menciptakan suasana aman dan tertib di dalam masyarakat itu.

Polisi di dalam menyelenggarakan Keamanan dan Ketertiban masyarakat tidak berdiri sendiri, sebab pada hakekatnya seluruh rakyat di dalam kesadarannya untuk menegakkan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat, dengan menggunakan mass-media dan sarana-sarana lain adalah pelaksana kaidah-kaidah masyarakat, baik yang bersifat psikis maupun phisik, turut berperanan pula dalam menyelenggarakan tugas kepolisian dalam bentuk "sosial control " . Karena pada dasarnya keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) itu, dalam gejolak yang dahsyat dalam kehidupan abad tehonologi dan informasi dewasa ini, harus dipertahankan bersama-sama rakyat.

Diikut sertakannya masyarakat dalam penyelenggaraan keamanan ketertiban masyarakat dapat kita lihat antara lain dari ketentuan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa tiap-tiap orang diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran tertangkap tangan dan membawanya kepada polisi yang berwajib.

KEPRIBADIAN POLISI

Pada umumnya corak kepribadian dan ciri-ciri tugas polisi di dunia ini, ditentukan sesuai dengan corak kepribadian dan type negaranya.

Pada jaman penjajahan Belanda maupun Jepang corak kepribadian dan tugas polisi itu tidak terlalu kompleks, bahkan sangat sederhana, yaitu hanyalah sebagai alat pemukul dalam menegakkan hukum yang diciptakan dan dipaksakan oleh pemerintah kolonial kepada rakyat jajahannya. Persyaratan bagi polisi tidak banyak, tidak perlu ada pendidikan perwira polisi yang akademis atau universiter, cukup dengan pendidikan physik yang kuat sebagai pemukul dan sekedar pengetahuan hukum penegak kepentingan penjajahan. Dalam alam kolonial, apabila dilihat dari sudut kesejahteraan negara dan rakyatnya, polisi pada hakekatnya hanyalah berupa alat pelaksana yang mati, karena polisi sengaja dijauhkan dari perasaan, cita-cita dan hati nurani rakyatnya.

Sesuai dengan coraknya yang sederhana dari tugasnya itu, maka pada waktu itu organisasi kepolisian tidak perlu berstatus departemen atau kementrian sendiri, akan tetapi cukup dibebankan kepada pejabat eksekutip. Pada jaman penjajahan Belanda polisi masuk lingkungan Departemen Dalam Negeri. Di Jaman penjajahan Jepang Polisi masuk dalam lingkungan Keamanan. Tugas polisi hanya sekedar sebagai pembantu kehakiman dan pamong praja saja.

Pada detik Proklamasi 17 Agustus 1945 lahirlah Negara Republik Indonesia dengan Undang Undang Dasar-nya yang berlandaskan Pancasila. Pada hakekatnya pada detik itu juga sebagai salah satu unsur dari Negara Republik Indonesia, lahirlah pula Polisi Republik Indonesia yang dalam suatu Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan tanggal 19 Agustus 1945 ditetapkan masuk dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri dengan sebutan " Jawatan Kepolisian Negara "

Ciri khas kepribadian Polisi Negara RI, tidak lain daripada suatu pengabdian dan kesetiaan kepada Nusa dan Bangsa Indonesia. Polisi senantiasa mengutamakan kepentingan umum dan kejayaan negara di atas kepentingan partai, golongan dan pribadi. Polisi berpandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum serta moral yang meliputi kejiwaan dan watak bangsa Indonesia.

Upaya merobah sikap mental dan perilaku aparatur kepolisian dari status kolonial yang beroman muka sebagai penindas menjadi roman muka Kepolisian Indonesia merdeka sebagai penegak hukum, pembina ketertiban dan keamanan masyarakat dalam rangka keamanan dalam negeri senantiasa menjadi mission Polisi RI sepanjang masa.

Dalam pengabdiannya kepada masyarakat yang bercita-citakan kehidupan yang tertib, aman sentausa dan sejahtera sesuai dengan amanat para leluhur kita menciptakan masyarakat yang "tata-tentram, kerta-raharja" lahirlah dalam jiwa Polisi RI, keinsyafan akan pedoman hidup, yaitu "tribrata" yang di ikrarkan oleh segenap anggota kepolisian pada tanggal 1 Juli 1955, yang berisikan azas-azas :
Polisi itu : Abdi Utama Nusa dan Bangsa
Polisi itu : Warga Negara Utama Negara
Polisi itu : Wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat.

Azas-azas dalam Tribrata inilah yang wajib dipedomani bagi seluruh anggota Polisi RI yang merdeka berbeda dengan roman muka polisi kolonial yang lebih beroman muka penindas.

Sikap dan perilaku Polisi RI, pada dasarnya merupakan penjabaran dari Tribrata sebagai berikut :
Wujud sikap dan perilaku seorang polisi RI, yang menyatakan dirinya sebagai Abdi utama Nusa dan Bangsa adalah sebagai berikut :
Berbhakti kepada Nusa dan Bangsa adalah kehormatan tertinggi.
Melaksanakan tugas nya dengan penuh kesungguhan, keikhlasan dan perasaan tanggung jawab.
Menolong sesama manusia dengan tulus ikhlas tanpa mengharapkan balasan apapun.
Menanam kepercayaan di kalangan masyarakat, dengan tingkah lakunya yang tiada tercela dan lepas segala pamrih.
Membhaktikan diri kepada Negara dan masyarakat dengan hasrat yang tiada kunjung padam serta pantang mundur.
Wujud sikap dan perilaku seorang polisi RI, yang menyatakan dirinya sebagai Warga Negara Utama Negara adalah sebagai berikut :
Dalam melakukan tugasnya dengan kesetiaan serta ketaatan kepada negara dan Pemerintahnya.
Menjunjung tinggi hukum, bersikap tidak berat sebelah dan berdiri di atas segala aliran dan paham politik.
Bersikap ramah tamah dan memperlakukan setiap anggota masyarakat sebagai sesama warga negara yang sederajat.
Melindungi Hak-hak Azasi tiap-tiap anggota masyarakat, yang berintikan kebebasan dari segala ketakutan.
Segala tingkah lakunya memberi teladan sesama warga negara lainnya, serta mempelopori pembinaan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.
Wujud sikap dan perilaku seorang Polisi RI, yang menyatakan dirinya sebagai Insan yang wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat, adalah sebagai berikut :
Selalu bersikap waspada di dalam melaksanakan tugasnya.
Bersikap adil dan bijaksana tanpa membedakan golongan, kedudukan atau kekayaan.
Menjunjung tinggi kejujuran, kebersihan dan kesederhanaan
Bersikap tenang, sabar, sopan santun dan tiada terombang ambing oleh keadaan apapun juga yang dihadapinya.
Berkesadaran diri untuk memupuk ketertiban pribadi yang didasarkan atas nurani yang murni.

Nilai-nilai yang tersimpul dalam Tribrata itu amat luas dan luhur. Tribrata bukanlah "semboyan" atau "pedoman", akan tetapi merupakan suatu keinsyafan pribadi yang diikrarkan dengan penuh kesungguhan dan khidmat

Dalam melaksanakan tugas kepolisian tiap detik, maka tiap langkah anggota Polsi RI akan benar-benar diikuti dengan unsur-unsur Tribrata. Tribrata bukan suatu ikrar yang kosong, akan tetapi harus benar-benar diamalkan anggota polisi siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Tanpa mengamalkan Tribrata, petugas Polisi RI akan gagal dalam menunaikan dharma-bhaktinya kepada Kesatuan, Nusa dan Bangsanya.Sungguh tidak ringan pengabdian dan pengorbanan seorang anggota Polisi Republik Indonesia itu.

Bertepatan dengan Pancawarsa Hari Kepolisian tanggal 1 Juli 1960 di Yogyakarta, kepada seluruh anggota Kepolisian RI oleh Presiden Soekarno diamanatkan Catur-Prasetia, agar diamalkan sebagai pedoman karya. Catur artinya empat dan Prasetia berarti janji (kesanggupan, tekad), yang bunyinya sebagai berikut :
supaya Bhayangkara Satya Haprabu,
supaya Bhayangkara Hanyaken Musuh,
supaya Bhayangkara Gineung Pratidina,
supaya Bhayangkara Tan Satrisna.

Satya Haprabu, berarti setia kepada Negara Republik Indoensia. Prabu disini berarti Pucuk Lambang Negara, yaitu Negara Republik Indonesia, jadi Setia kepada Negara dan Pimpinan Negara.

Hanyaken Musuh, berarti meniadakan musuh, dengan kata lain melenyapkan musuh, perintang dan gangguan keamanan negara serta pimpinan negara,mengenyahkan musuh-musuh negara, masyarakat dan rakyatnya.

Gineung Pratidina, berarti mengagungkan tiap hari dan tiap malam, dengan kata lain seluruh anggota Polisi RI tiap-tiap hari, tiap-tiap malam, tiap-tiap jam dan tiap-tiap menit harus mengagung Negara Republik Indonesia ."Rame ing gawe mengabdi dan mengagungkan negara"

Tan Satrisna, berarti tidak boleh terikat oleh sesuatu di dunia ini. Tidak merasa diberati, tidak merasa terikat kepada sesuatu, tidak terikat kepada rasa tresna (cinta) yang bermakna, tidak merasa berat menjlankan tugas kepolisian, tidak merasa berat untuk berkorban didalam membaktikan diri kepada pada negara, oleh karena tidak diberati oleh keluarga, harta benada atau kemuliaan pribadi dan lain sebagainya. "Tanpa terikat oleh suatu apapun dalam mengutamakan kewajibannya, sepi ing pamrih".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar